Jakarta (26/3) – Perusahaan pengembang properti skala nasional, PT Intiland Development Tbk (Intiland;DILD) melaporkan kinerja keuangan dengan periode penutupan 31 Desember 2017. Perseroan berhasil membukukan pendapatan usaha Rp 2,2 Triliun.
Direktur Pengelolaan Modal dan Investasi Intiland, Archied Noto Pradono menilai kondisi pasar properti secara umum belum sepenuhnya pulih di tahun 2017. Pasar properti nasional masih menghadapi sejumlah tantangan pertumbuhan, selain juga disebabkan konsumen dan investor yang cenderung masih mengambil sikap menunggu (wait and see) terhadap perubahan kondisi pasar.
“Segmen pengembangan kawasan industri dan recurring income (pendapatan berkelanjutan) menjadi pendorong utama pencapaian kinerja keuangan tahun 2017. Hasil penjualan lahan kawasan industri sepanjang tahun lalu bisa langsung dibukukan sebagai pendapatan usaha,” ungkap Archied.
Segmen pengembangan kawasan industri mencatatkan pendapatan usaha sebesar Rp550,9 miliar, atau memberikan kontribusi sebesar 25 persen dari keseluruhan. Jumlah tersebut melonjak sebesar 578 persen dibandingkan pencapaian tahun 2016 yang mencapai Rp81,3 miliar.
Segmen properti investasi yang merupakan sumber recurring income memberikan kontribusi senilai Rp 528,2 miliar atau 24 persen dari keseluruhan. Segmen ini meraih pertumbuhan pendapatan usaha sebesar Rp180,6 miliar atau 52 persen dari pencapaian tahun 2016 senilai Rp 347,6 miliar. Peningkatan yang cukup signifikan ini, terutama dipicu oleh meningkatnya kontribusi dari pendapatan sewa perkantoran serta pengelolaan fasilitas gedung dan kawasan.
Segmen pengembangan mixed-use & high rise mencatatkan pendapatan usaha sebesar Rp703,6 miliar, atau memberikan kontribusi 31,9 persen. Segmen pengembangan kawasan perumahan tercatat memberikan kontribusi sebesar Rp420 miliar atau 19,1 persen.
Menurut Archied pengakuan penjualan pada dua segmen ini mengalami penurunan masing-masing sebesar 37 persen dan 43 persen. Penurunan ini lebih disebabkan marketing sales yang diperoleh dari kedua segmen tersebut belum bisa diakui sebagai pendapatan usaha.
“Penurunan ini karena marketing sales pada segmen mixed-use and high rise dan kawasan perumahan belum bisa dibukukan sebagai pendapatan usaha tahun 2017, karena menunggu progres pembangunan,” ungkap Archied.
Pada tahun lalu Perseroan memperoleh kinerja marketing sales cukup baik, yakni sebesar Rp3,3 triliun, atau 106,3 pesen lebih tinggi dari tahun 2016. Segmen pengembangan mixed-use & high rise serta kawasan perumahan memberikan kontribusi marketing sales masing-masing sebesar Rp1,9 triliun dan Rp 483 miliar.
Ditinjau berdasarkan tipenya, pendapatan dari pengembangan (development income) memberikan kontribusi sebesar Rp 1,67 triliun atau 76 persen dari keseluruhan. Sementara pendapatan berkelanjutan yang berasal dari segmen properti investasi seperti penyewaan perkantoran, pengelolaan sarana olah raga, pengelolaan kawasan dan gedung, serta penyewaan pergudangan memberikan kontribusi Rp 528,2 miliar atau 24 persen.
Dari sisi kinerja profitabilitas, Perseroan membukukan laba kotor sebesar Rp955,7 miliar dan laba usaha mencapai Rp344,9 miliar. Laba bersih perseroan tercatat mencapai Rp297,5 miliar, cenderung sama dengan perolehan tahun lalu.
“Di tengah tantangan besar sepanjang tahun lalu, Perseroan berhasil menjaga kinerja laba bersih. Kami masih mempertahankan langkah dan strategi konservatif di tahun ini,” kata Archied lebih lanjut.
Menghadapi kondisi pasar di 2018, menurut Archied Perseroan telah menyiapkan sejumlah strategi kunci untuk menjaga pertumbuhan kinerja usaha. Salah satunya adalah melalui pengembangan dan peluncuran proyek-proyek baru yang akan dilakukan tahun ini.
“Untuk meluncurkan proyek-proyek baru, kami tentu tetap mempertimbangkan perubahan arah dan kondisi pasar. Namun kami yakin kondisinya akan berangsur membaik, sehingga pasar properti akan kembali bergairah dan kondusif bagi investasi,” kata Archied.
Manajemen Perseroan berkeyakinan kondisi pasar properti nasional akan bergerak membaik tahun ini. Perubahan ke arah positif tersebut antara lain ditopang oleh sejumlah faktor, antara lain arah perkembangan indikator perekonomian dan iklim investasi Indonesia yang cenderung tumbuh positif. ***